bukan serabi Bandung

terus terang aku heran waktu pertama kali ada serabi jadi komoditi mengembang

dikerumuni konsumen konsumen berselera kapal terbang

serabi nangka serabi keju serabi pisang serabi coklat serabi kismis serabi

kelapa seraba apa serabi apa serabi apa serabi apa

mobil mobil jadi penjaga setia mereka manakala duduk menghadap meja penuh beraneka warna serabi

nyonya seksi tuan jumawa melahap bertumpuk serabi berkelas

komat-kamit mulut gigi mengunyahnya jadi sahabat bunyi kecipak lidah ludah dan sendawa bir

dunia jadi miliknya

meski dunia serabi tetap bisa jadi simbol gengsi

dimodali pemilik pesawat terbang yang sudah kenyang spageti

perguratan jalan jadi saksi si pemilik daya cipta serabi yang semula masih

terseok tertatih terpuruk kerikil jalan desa terpencil

ia nenek tua yang duduk bersimpuh di pojok gang kumuh

serabinya cuma satu jenis

serabi berlumur santan kelapa

pagi datang ia membeber peralatan yang digendong dengan kain tua

pembeli datang serabi habis ia pun pulang

hari panjang masih lengang

harapanku hatinya tetap lapang

ia memang jualan serabi bukan untuk dimakan sendiri

tapi menghidangkan serabi buat siapa saja yang sedia beli

kalau pun nggak ada penikmatnya

ia tetap bikin serabi

walau merek serabinya masih serabi desa tua bukan serabi Bandung yang maju nan bergengsi

masih ada tetangga sesama nasib yang mau mencicipi



Yonathan Rahardjo/ depok 24603

Jurnal Nasional Minggu 12-11-2006